Benarkah Muhammadiyah Sekaya Itu? Mengupas Kekayaan Rp 454 Triliun dan Drama Gaji Guru yang Bikin Geleng Kepala - todaymu

Post Top Ad

 Benarkah Muhammadiyah Sekaya Itu? Mengupas Kekayaan Rp 454 Triliun dan Drama Gaji Guru yang Bikin Geleng Kepala

Benarkah Muhammadiyah Sekaya Itu? Mengupas Kekayaan Rp 454 Triliun dan Drama Gaji Guru yang Bikin Geleng Kepala

Muhammadiyah Organisasi terkaya di Dunia

Pendahuluan: Kekayaan yang Bikin Mata Melotot

Kalau ada organisasi keagamaan yang masuk daftar Forbes versi spiritual, Muhammadiyah pasti duduk manis di posisi empat besar dunia. Menurut Seasia Stats, kekayaan Muhammadiyah diperkirakan mencapai Rp 454,24 triliun, menjadikannya organisasi Islam terkaya di planet ini. Angka itu cukup untuk membeli pulau kecil, atau mungkin seluruh saham perusahaan kopi kekinian di Indonesia. 

Tapi, benarkah Muhammadiyah se-“glamor” yang diberitakan? Atau ini cuma sensasi headline yang bikin kita ternganga? Dan yang lebih penting: kalau mereka sekaya itu, kenapa masih ada guru di sekolah Muhammadiyah yang gajinya cuma cukup buat beli mi apa adanya?

Mari kita bedah satu per satu, dari mana asal kekayaan fantastis ini, apa saja aset yang dimiliki, dan kenapa masih ada cerita sedih soal gaji guru yang bikin kita pengin nulis puisi protes. Oh ya, kita juga akan kasih solusi, plus sorot beberapa sekolah Muhammadiyah yang sudah modern dan royal ke guru-gurunya—tapi dengan catatan, jangan kebanyakan pamer, ya.

Asal Kekayaan Muhammadiyah: Bukan Sulap, Bukan Sihir

Jadi, dari mana sih datangnya Rp 454,24 triliun itu? Bukan dari lotre, bukan juga dari warisan pangeran Timur Tengah. Kekayaan Muhammadiyah adalah hasil dari perjalanan panjang selama lebih dari seabad, berbasis pada amal usaha yang dikelola dengan prinsip Al-Ma’un—yaitu membantu yang lemah sambil tetap mandiri. Berikut rinciannya:

Aset Wakaf yang Luas Banget

Muhammadiyah punya 214 juta meter persegi tanah wakaf di lebih dari 20.465 lokasi. Bayangkan, itu setara dengan 30 kali luas Singapura! Tanah ini bukan cuma lahan kosong, tapi di atasnya berdiri sekolah, rumah sakit, masjid, hingga universitas. Nilai tanah ini, kalau dihitung dengan harga pasar, sudah cukup bikin kepala pusing. Tapi, semua aset ini atas nama organisasi, bukan pribadi. Jadi, jangan harap ada petinggi Muhammadiyah yang tiba-tiba beli jet pribadi.

Amal Usaha Muhammadiyah (AUM)

Ini adalah mesin uang utama Muhammadiyah, tapi dengan catatan: semua keuntungan diputar kembali untuk misi sosial, bukan buat bagi-bagi dividen. AUM mencakup:
Pendidikan: 5.957 lembaga, termasuk 172 perguruan tinggi (83 universitas, 53 sekolah tinggi, dan 36 lainnya), 5.345 sekolah/madrasah, dan 440 pesantren. Bayaran SPP, donasi alumni, dan hibah pemerintah jadi sumber pendapatan utama.

Kesehatan: 122 rumah sakit, 231 klinik, dan 20 rumah sakit dalam tahap pembangunan. Rumah sakit ini melayani masyarakat umum, tapi juga menghasilkan pendapatan dari pasien berbayar.

Sosial: 1.012 unit amal usaha sosial, seperti panti asuhan, disability center, dan senior-care center. Ini lebih ke filantropi, tapi tetap dapat donasi dari masyarakat.

Keuangan Syariah: 26 bank pembiayaan rakyat syariah, 275 Baitul Maal wat Tamwil, dan 81 koperasi syariah. Ini seperti bank mini yang menghasilkan profit sambil bantu UMKM.

Zakat, Infaq, dan Sedekah

Dengan jutaan anggota dan simpatisan, Muhammadiyah mengelola dana zakat, infaq, dan sedekah dalam jumlah besar. Ditambah lagi, ada hibah dari individu atau lembaga, baik lokal maupun internasional, yang sering mengalir untuk misi kemanusiaan, seperti bantuan ke Palestina atau Rohingya.

Bisnis Lain yang Tak Disangka

Muhammadiyah punya 22 minimarket, 5 kedai pesisir, bahkan hotel di Yogyakarta dan Makkah. Belum lagi universitas di Malaysia dan sekolah di Australia. Ini adalah bukti bahwa Muhammadiyah bukan cuma ormas, tapi juga konglomerasi sosial dengan visi global.

Cara Menghitung Kekayaan Ini?

Angka Rp 454,24 triliun adalah estimasi berdasarkan valuasi aset fisik (tanah, bangunan, kendaraan) dan aset produktif (pendapatan dari sekolah, rumah sakit, dll.). Seasia Stats menggunakan kurs Rp 16.250 per USD untuk menghitung, dengan total aset Muhammadiyah sekitar USD 27,69 miliar. Tapi, karena Muhammadiyah adalah organisasi nirlaba, valuasi ini agak rumit—banyak asetnya tidak dijual, melainkan diwakafkan untuk misi sosial. Jadi, angka ini lebih ke “nilai buku” ketimbang likuiditas.

Aset Amal Usaha Muhammadiyah: Kekayaan yang Bikin Iri

Mari kita jabarkan aset Muhammadiyah biar lebih jelas. Ini bukan cuma soal angka, tapi juga dampaknya ke masyarakat:

Pendidikan:  

172 Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah (PTMA), termasuk Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).  
5.345 sekolah/madrasah, dari TK hingga SMA.  

440 pesantren, termasuk Pesantren Muhammadiyah (PesantrenMU). 
 
Sekolah internasional seperti Muhammadiyah Australia College dan Universiti Muhammadiyah Malaysia.

Total: 5.957 lembaga pendidikan, mendidik jutaan siswa dan menghasilkan alumni yang jadi tulang punggung bangsa.

Kesehatan:  

122 rumah sakit, seperti RS PKU Muhammadiyah di Yogyakarta.  

231 klinik, melayani masyarakat kelas menengah ke bawah.  

20 rumah sakit baru sedang dibangun.

Total: 353 fasilitas kesehatan, yang jadi penyelamat di daerah-daerah terpencil.

Sosial dan Kemanusiaan:  

1.012 panti asuhan, disability center, dan senior-care center.  

Misi kemanusiaan internasional di Palestina, Rohingya, Bangladesh, Maroko, Turki, Nepal, Sudan, Libya, Yordania, dan Lebanon.  

12.000 masjid dan mushola, jadi pusat ibadah sekaligus kegiatan komunitas.

Ekonomi dan Wakaf:  

26 bank syariah, 275 Baitul Maal wat Tamwil, 81 koperasi syariah, 22 minimarket, dan 5 kedai pesisir.  

20.465 aset wakaf dengan luas 214 juta meter persegi.

Ini adalah bukti Muhammadiyah bukan cuma bicara soal akhirat, tapi juga urusan dunia.

Dengan aset sebanyak ini, tak heran Muhammadiyah disebut sebagai “konglomerasi sosial”. Tapi, di balik gemerlap kekayaan, ada cerita yang bikin kita pengin bertanya: “Lho, kok gitu?”

Kritik: Kekayaan Triliunan, Tapi Gaji Guru Masih Miris

Sekarang, mari kita bicara soal elefant di ruangan: gaji guru Muhammadiyah yang rendah. Di tengah pemberitaan soal aset Rp 454 triliun, banyak guru di sekolah Muhammadiyah—terutama di daerah—hanya digaji Rp 100.000–200.000 per bulan. Iya, serius, angka itu bukan buat beli kopi sebulan, tapi gaji sebulan! Ditambah lagi, ada potongan infaq dan kewajiban ikut kegiatan persyarikatan yang bikin dompet makin tipis. Ini seperti punya bos kaya raya, tapi kamu cuma dikasih remah-remah kue.

Muhammadiyah memang punya semboyan dari KH Ahmad Dahlan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari kehidupan di Muhammadiyah.” Artinya, jangan jadikan organisasi ini ladang cari duit, tapi tempat pengabdian. Tapi, mari kita realistis: pengabdian itu mulia, tapi bayar tagihan listrik juga butuh duit. Guru adalah tulang punggung pendidikan Muhammadiyah, yang mendidik jutaan anak bangsa. Kalau mereka cuma dapat gaji seuprit, bagaimana bisa fokus mengajar? Apalagi kalau harus ikut rapat persyarikatan sambil mikirin cicilan motor.

Lebih ironis lagi, Muhammadiyah sering pamer kekayaan di media: “Kami punya universitas, rumah sakit, tanah seluas negeri dongeng!” Tapi, di lapangan, banyak guru yang hidup pas-pasan. Ini seperti perusahaan teknologi yang flexing kantor canggih, tapi karyawannya masih pakai laptop jadul. Profesionalitas Muhammadiyah dalam mengelola aset memang patut diacungi jempol, tapi soal kesejahteraan guru, sepertinya mereka perlu buka kalkulator lagi. Kalau organisasi sekaya ini masih kesulitan bayar guru dengan layak, ada yang salah di sistemnya, bukan?

Solusi: Cara Muhammadiyah Bisa Lebih “Berhati Emas”

Tapi tenang, kami bukan cuma mau nyinyir. Berikut beberapa solusi agar Muhammadiyah bisa lebih adil ke guru-gurunya:

Audit dan Redistribusi Keuangan

Muhammadiyah perlu audit menyeluruh soal alokasi dana di setiap AUM. Kalau rumah sakit dan universitas bisa untung besar, kenapa tidak alokasikan sebagian ke gaji guru? Buat skema subsidi silang, misalnya: keuntungan dari rumah sakit di kota besar dipakai untuk naikkan gaji guru di daerah terpencil.

Standarisasi Gaji Minimum

Tetapkan standar gaji minimum untuk guru di semua sekolah Muhammadiyah, misalnya sesuai UMR daerah. Ini bukan cuma soal duit, tapi juga martabat profesi guru. Kalau perlu, kurangi potongan infaq yang memberatkan—biar guru bisa fokus mengajar, bukan jadi “donatur wajib”.

Pelatihan dan Sertifikasi Guru

Banyak guru di sekolah Muhammadiyah adalah tenaga honorer tanpa sertifikasi. Muhammadiyah bisa manfaatkan jaringan universitasnya untuk bikin program pelatihan dan sertifikasi gratis. Guru yang tersertifikasi biasanya punya peluang gaji lebih tinggi, plus meningkatkan kualitas pendidikan.

Transparansi Pengelolaan Aset

Publikasikan laporan keuangan AUM secara terbuka, biar publik tahu berapa persen dana yang dialokasikan untuk gaji guru. Ini juga bisa kurangi kesan “pamer kekayaan” dan tunjukkan bahwa Muhammadiyah serius soal kesejahteraan.

Manfaatkan Aset Produktif

Muhammadiyah punya minimarket, koperasi, dan bank syariah. Kenapa tidak kembangkan bisnis ini untuk ciptakan lapangan kerja baru atau dana tambahan untuk gaji guru? Misalnya, buka waralaba minimarket Muhammadiyah yang keuntungannya disalurkan ke pendidikan.

Sekolah Muhammadiyah Modern: Bukti Bisa, Tapi Jangan Jumawa

Untungnya, tidak semua sekolah Muhammadiyah stuck di era gaji minim. Beberapa sekolah modern Muhammadiyah sudah menunjukkan bahwa mereka bisa bayar guru dengan layak, bahkan di atas rata-rata. Contohnya:

SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (Muhi): Sekolah ini dikenal punya fasilitas modern dan gaji guru yang kompetitif, bisa mencapai Rp 5–8 juta per bulan untuk guru tetap, tergantung pengalaman. Mereka juga punya program pelatihan rutin untuk meningkatkan kualitas mengajar.

SMA Muhammadiyah 2 Surabaya: Dengan kurikulum berbasis teknologi dan kolaborasi internasional, sekolah ini menawarkan gaji di kisaran Rp 4–7 juta untuk guru bersertifikasi, plus tunjangan kesehatan.

Muhammadiyah Boarding School (MBS) di berbagai daerah: Beberapa MBS, seperti di Sleman dan Bandung, punya sistem asrama modern dan gaji guru yang mendekati standar sekolah swasta elite, sekitar Rp 6–10 juta per bulan.

Sekolah-sekolah ini membuktikan bahwa Muhammadiyah bisa berbuat lebih baik. Tapi, jangan sampai mereka kebanyakan gaya dan lupa bahwa masih banyak sekolah Muhammadiyah di pelosok yang guru-gurunya masih berjuang dengan gaji seadanya. Kekayaan bukan cuma soal angka, tapi bagaimana angka itu mengubah hidup orang-orang di lapangan.

Penutup: Kaya Bukan Akhir, Tapi Awal Tanggung Jawab

Muhammadiyah memang luar biasa. Dengan aset Rp 454,24 triliun, ribuan sekolah, rumah sakit, dan misi kemanusiaan global, mereka adalah bukti bahwa organisasi keagamaan bisa jadi kekuatan peradaban. Tapi, di balik gemerlap kekayaan, ada cerita guru-guru yang masih terjepit antara idealisme dan realitas dompet kosong. Muhammadiyah perlu ingat: kekayaan sejati bukan cuma soal tanah dan bangunan, tapi bagaimana mereka memperlakukan “prajurit” di garis depan, yaitu para guru.

Jadi, apakah Muhammadiyah sekaya, sebesar, dan sebaik yang diberitakan? Ya, mereka kaya dan besar, tapi soal “baik”, masih ada PR besar soal kesejahteraan guru. Mari kita dukung Muhammadiyah untuk jadi lebih baik—tapi dengan catatan: kurangi flexing aset, tambah perhatian ke gaji guru. Karena, seperti kata pepatah, “Kekayaan yang tak dibagi, cuma bikin orang lain iri.”

Catatan Penulis:
Data diambil dari sumber terpercaya, tapi narasi kritik dan solusi adalah analisis berdasarkan isu yang ada. Kalau Muhammadiyah mau balas, saya siap diajak diskusi sambil ngopi—tapi kopinya kamu yang bayar, ya, soalnya gaji saya juga pas-pasan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon untuk tidak menaruh link dalam bentuk apapun

Post Bottom Ad