Film Dokumenter “No Other Land” Sabet Oscar 2025: Cerita Perjuangan yang Menggetarkan - todaymu

Post Top Ad

Film Dokumenter “No Other Land” Sabet Oscar 2025: Cerita Perjuangan yang Menggetarkan

Film Dokumenter “No Other Land” Sabet Oscar 2025: Cerita Perjuangan yang Menggetarkan

Film Dokumenter “No Other Land” Sabet Oscar 2025

Bayangin, sebuah film dokumenter yang bikin orang takjub berhasil nyabet penghargaan Oscar 2025 untuk kategori Best Documentary Feature Film. Yup, “No Other Land” jadi sorotan di ajang bergengsi ini yang digelar pada 2 Maret 2025. Film ini bukan cuma sekadar tontonan, tapi juga cerminan perjuangan keras yang bikin hati bergetar.

“No Other Land” dibikin bareng sama empat aktivis dan jurnalis dari Palestina dan Israel: Basel Adra, Yuval Abraham, Hamdan Ballal, dan Rachel Szor. Mereka ngedokumentasiin kehidupan di Masafer Yatta, sebuah wilayah di Tepi Barat yang lagi jadi sasaran rencana militer Israel. Di sana, rumah-rumah warga diruntuhin, keluarga dipaksa ninggalin tanah mereka, demi dijadikan zona latihan militer. Kisahnya berpusat pada Basel, aktivis Palestina yang dari kecil udah melawan penggusuran, dan Yuval, jurnalis Israel yang nyoba bantu lewat lensa kameranya.

Film ini mulai syuting dari 2019 sampe selesai Oktober 2023, jadi kayak kapsul waktu yang nangkep suasana sebelum konflik gede pecah. Uniknya, meski dapet pujian di mana-mana—mulai dari Berlinale Documentary Award sampe nominasi BAFTA—film ini sempet susah nyari distributor di Amerika. Tapi, timnya nggak nyerah. Mereka akhirnya rilis terbatas pake bantuan Cinetic Media, dan ternyata jadi dokumenter nominasi Oscar 2025 yang paling laris di box office. Keren, kan?

“No Other Land” bukan cuma soal politik atau konflik, tapi juga soal persahabatan di tengah ketidakadilan. Basel dan Yuval, meski beda latar belakang, nunjukin solidaritas yang bikin kita mikir: harapan itu masih ada, meski kecil. Film ini udah dirilis di beberapa kota besar kayak New York dan Los Angeles awal 2025, dan sukses bikin penonton terpukau sekaligus sedih.

Kemenangan di Oscar 2025 ini kayak tamparan buat industri film yang awalnya ragu nerima karya “berat” kayak gini. Dengan rating 100% di Rotten Tomatoes dan skor 92 di Metacritic, “No Other Land” buktiin bahwa cerita nyata yang kuat bisa nyanyi di panggung dunia. Buat kamu yang suka film dengan makna mendalam, ini wajib masuk watchlist!

Tentu! Kalau kita bicara soal konflik di balik film dokumenter “No Other Land” yang menang Oscar 2025, ini sebenarnya adalah cerminan dari situasi yang udah berlangsung lama di Masafer Yatta, Tepi Barat.
Latar Belakang Konflik
Masafer Yatta adalah kawasan di selatan Hebron, Tepi Barat, yang terdiri dari 19 desa kecil atau lebih tepatnya hamlets, tempat tinggal sekitar 2.800 warga Palestina. Mereka hidup dari bertani dan beternak, udah turun-temurun dari sebelum Israel menduduki Tepi Barat pada 1967. Nah, masalahnya mulai pelik sekitar tahun 1980-an, waktu Israel nyatakan sebagian besar wilayah ini sebagai “Firing Zone 918”—zona latihan militer. Katanya sih buat keperluan tentara, tapi banyak aktivis dan organisasi hak asasi manusia bilang ini cuma alasan buat gusur warga Palestina dari tanah mereka.

Sejak saat itu, warga di sana hidup dalam ketegangan terus-menerus. Rumah mereka sering dirusak atau dihancurin, akses ke air dan listrik dibatesin, jalan ditutup, sampe mereka dikelilingi oleh permukiman Israel yang ilegal menurut hukum internasional. Belum lagi, ada serangan rutin dari pemukim Israel yang tinggal di deket situ—sering pake kekerasan, bawa senjata, atau bahkan bakar-bakar properti warga.
Eskalasi Konflik
Konflik ini naik level pada Mei 2022, waktu Mahkamah Agung Israel ngeluarin putusan yang dukung rencana militer buat usir lebih dari 1.000 warga dari delapan desa di zona itu. Ini jadi sorotan besar karena bakal jadi penggusuran terbesar sejak tahun 1970-an. Warga bilang mereka nggak bakal pergi, tapi tekanannya nggak main-main. Militer Israel rutin masuk, bawa buldoser, hancurin rumah, sekolah, bahkan tenda darurat. Latihan militer pake amunisi beneran juga sering digelar di deket desa, bikin warga takut dan terancam setiap hari.

Setelah 7 Oktober 2023, situasinya makin parah. Dengan fokus dunia tertuju ke Gaza, pemukim Israel—yang sekarang banyak direkrut jadi tentara atau dikasih senjata sama pemerintah—nambah agresif. Mereka masuk desa, bakar mobil, serang warga, sampe bikin 16 komunitas di Masafer Yatta kehilangan tempat tinggal karena kekerasan ini. Salah satu contoh, di desa seperti Susya atau Shi’b Al-Butum, pemukim dateng kapan aja, bawa senjata, rusak lahan pertanian, dan ancam warga supaya pergi.
Solidaritas dan Perlawanan
Di tengah semua itu, ada cerita solidaritas yang kuat, kayak yang ditunjukin Basel Adra (aktivis Palestina) dan Yuval Abraham (jurnalis Israel) dalam “No Other Land”. Mereka berdua, meski dari latar belakang yang beda banget, kerja bareng buat nyanyi suara warga Masafer Yatta ke dunia. Film ini nggak cuma soal dokumentasi, tapi juga bukti bahwa perlawanan warga nggak pernah mati. Mereka tetep bertahan, bangun ulang rumah yang dirobohin, dan tolak ninggalin tanah mereka, meski tekanannya brutal.

Ada juga kelompok aktivis, baik lokal maupun internasional, yang ikut bantu. Misalnya, “Youth of Sumud”—grup pemuda Palestina di Masafer Yatta—yang fokus jaga ketahanan komunitas mereka. Aktivis Yahudi anti-pendudukan juga sering dateng, bantu panen zaitun atau jadi saksi mata buat ngurangin kekerasan pemukim. Tapi, mereka juga jadi target, sering ditangkep atau dilarang masuk Tepi Barat sama otoritas Israel.
Dampak dan Reaksi Dunia
Konflik ini udah dikecam keras sama PBB, Uni Eropa, dan kelompok kayak Amnesty International, yang bilang penggusuran dan kekerasan ini melanggar hukum internasional—bisa jadi kejahatan perang. Film “No Other Land” sendiri, yang direkam dari 2019 sampe 2023, jadi bukti hidup gimana warga Masafer Yatta kehilangan segalanya secara perlahan: tanah, rumah, bahkan harapan. Kemenangannya di Oscar 2025 bikin dunia nengok lagi ke sini, meski di lapangan, perubahan nyata masih jauh.

Sekarang, di 2025, laporan terbaru bilang serangan pemukim dan penghancuran rumah masih berlangsung. Februari 2025 aja, ada laporan buldoser Israel hancurin rumah di Shi’b Al-Butum, dan pemukim terus nyerang desa-desa kayak Susya. Warga hidup dalam ketakutan, tapi mereka tetep bilang, “Kami nggak akan pergi.”
Intinya
Konflik di Masafer Yatta adalah perpaduan dari kebijakan militer Israel, ekspansi permukiman ilegal, dan kekerasan pemukim yang didukung negara, lawan perlawanan warga Palestina yang nggak mau nyerah. “No Other Land” nggak cuma cerita soal penderitaan, tapi juga soal kekuatan, persahabatan, dan harapan di tengah situasi yang keliatannya nggak ada ujungnya. Ini konflik yang kompleks, penuh emosi, dan sayangnya, masih jauh dari selesai.

Oke, kalau kita mau ngobrol lebih dalam soal aktivis di balik film dokumenter “No Other Land” yang menang Oscar 2025, kita bakal fokus ke empat orang kunci: Basel Adra, Yuval Abraham, Hamdan Ballal, dan Rachel Szor. Mereka adalah kolektif Palestina-Israel yang bikin film ini, dan masing-masing punya peran serta latar belakang yang bikin cerita mereka makin hidup.
Basel Adra: Aktivis Palestina dari Masafer Yatta
Basel Adra adalah jantungan dari “No Other Land”. Dia lahir dan besar di Masafer Yatta, kawasan di Tepi Barat yang jadi pusat cerita film ini. Sejak kecil, Basel udah nyaksiin penggusuran dan kekerasan yang dialami komunitasnya karena rencana militer Israel mau jadikan tanah mereka zona latihan. Dia mulai pegang kamera pas masih remaja, sekitar umur 15 tahun, buat rekam buldoser yang ngerusak rumah tetangganya. Bagi Basel, dokumentasi itu senjata—cara buat nunjukin ke dunia apa yang bener-bener terjadi di tempatnya.

Basel nggak cuma aktivis biasa, dia juga lawyer dan jurnalis. Dia udah lama berjuang melawan pengusiran massal di Masafer Yatta, yang katanya bakal jadi penggusuran terbesar di Tepi Barat. Hidupnya penuh tekanan: dia nggak bisa bebas keluar masuk Israel kayak Yuval, dan tiap hari dia hadepin ancaman dari tentara sama pemukim. Di film, Basel keliatan capek, tapi semangatnya nggak padam. Dia bilang ke Yuval, “Kamu harus biasain gagal. Kita ini pecundang.” Itu nunjukin betapa realistis tapi tetep gigihnya dia. Basel juga yang nyanyi footage dari masa kecilnya, termasuk video bapaknya digeletakin tentara waktu demo, buat kasih konteks sejarah perjuangannya.
Yuval Abraham: Jurnalis Israel yang Jadi Sekutu
Yuval Abraham adalah orang Israel dalam tim ini, dan dia bawa perspektif yang beda banget. Dia jurnalis investigasi yang tinggal di Yerusalem, cuma 30 menit dari Masafer Yatta, tapi hidupnya jauh lebih bebas dibanding Basel. Yuval ketemu Basel lima tahun lalu pas dia dateng ke Masafer Yatta bareng Rachel Szor buat liputan jurnalistik. Awalnya dia cuma mau nulis artikel, tapi lama-lama dia jadi aktivis bareng Basel, dan akhirnya ikut bikin film ini.

Yuval punya latar belakang keluarga Yahudi Mizrahi dan Ashkenazi yang penuh sejarah: kakeknya orang Yahudi Yaman yang fasih bahasa Arab Palestina, neneknya lahir di kamp konsentrasi Italia di Libya, dan kakek lainnya kehilangan keluarga di Holocaust. Dia sendiri pernah direkrut wajib militer Israel, tapi nggak jadi ikut. Yuval fasih bahasa Arab, dan itu bantu dia bangun hubungan sama Basel. Di film, dia keliatan naif awalnya—Basel sampe ketawa bilang, “Kamu mau semuanya cepet selesai, padahal ini udah puluhan tahun.” Tapi Yuval tetep balik setiap hari buat bantu, meski dia bisa pulang ke rumah aman di Yerusalem kapan aja.

Pas nerima penghargaan di Berlinale 2024, Yuval bikin heboh dengan pidato yang minta gencatan senjata di Gaza dan akhiri “apartheid” di Tepi Barat. Akibatnya, dia dituduh antisemit sama politisi Jerman, dapet ancaman mati, dan rumah keluarganya di Israel diserbu massa sayap kanan. Dia bilang ke media, “Berdiri di tanah Jerman sebagai anak korban Holocaust dan minta gencatan senjata, terus dilabel antisemit, itu gila.”
Hamdan Ballal: Fotografer dan Petani dari Susya
Hamdan Ballal adalah aktivis Palestina lain dalam tim ini. Dia dari Susya, desa di Masafer Yatta yang juga kena tekanan penggusuran. Hamdan bukan cuma aktivis, tapi juga fotografer dan petani. Dia udah lama kerja sama kelompok hak asasi manusia buat lawan pendudukan Israel. Di film, Hamdan bawa ide buat bikin proyek yang lebih gede dari cuma video media sosial, yang akhirnya jadi “No Other Land”. Dia juga ikut motong-motong footage bareng tim.

Hamdan punya sudut pandang yang lebih skeptis soal дружба (persahabatan) sama Yuval. Dalam satu adegan, dia bilang keras ke Yuval, “Kamu bilang sekutu, tapi apa gunanya buat aku?” Itu nunjukin ketegangan yang nyata: meski mereka kerja bareng, ketimpangan hidup mereka nggak bisa diabaikan. Hamdan nggak se-ekspose Basel atau Yuval di film, tapi peran dia penting banget buat kasih tekstur emosi dan realitas di lapangan.
Rachel Szor: Sinematografer yang Nyanyi Gambar
Rachel Szor adalah orang Israel kedua di tim ini, dan dia yang pegang kamera utama. Dia pake Lumix GH5, kamera 4K yang ringan, cocok buat lari-larian sambil syuting di situasi chaos kayak penggusuran. Rachel dateng ke Masafer Yatta bareng Yuval awalnya sebagai jurnalis, tapi dia akhirnya jadi sinematografer sekaligus co-director. Dia nggak cuma rekam, tapi juga ikut motong filmnya bareng Basel, Yuval, dan Hamdan.

Rachel kurang banyak cerita personalnya di film dibanding yang lain, tapi kerja kameranya bikin “No Other Land” punya kekuatan visual yang ngena. Dia tangkep momen-momen brutal kayak buldoser ngerusak rumah atau pemukim nyerang warga, sampe momen intim дружба Basel sama Yuval. Footage-nya mentah dan jujur, bikin kita ngerasa ada di tengah konflik itu.
Kolektif yang Bikin Perbedaan
Keempat aktivis ini awalnya nggak ada pengalaman bikin film dokumenter panjang. Mereka mulai dari nol, cuma bermodal kamera, ponsel, dan rekaman arsip dari keluarga Basel. Dari 2019 sampe 2023, mereka kumpulin ribuan jam footage, dibantu program kayak Close Up Initiative dan Sundance Lab, plus editor veteran Anne Fabini. Film ini jadi bentuk perlawanan kreatif mereka—nggak cuma buat nyanyi ke dunia, tapi juga buat nyanyi ke diri mereka sendiri bahwa solidaritas itu mungkin, meski susah.

Kemenangan di Oscar 2025 buat Best Documentary Feature Film jadi puncak perjuangan mereka. Basel bilang, “Dokumentasi itu penting buat kami, karena dunia harus tahu.” Yuval nambahin, “Ini soal ubah pikiran orang, buka percakapan.” Mereka berempat, dengan latar belakang yang beda-beda, buktiin bahwa aktivisme dan seni bisa jalan bareng, bahkan di tengah konflik yang keliatannya nggak ada habisnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon untuk tidak menaruh link dalam bentuk apapun

Post Bottom Ad