Sekali - kali kita baca yang serius-serius yak mbloo, untuk menambah wawasan juga! yapz, tulisan ini saya ambil (copas = copy paste = klik klik) dari Mas Dipa Nugraha Link resmi dari tulisan ini adalah Di Balik Penciptaan Ulang Narasi Kartini: Mencari Identitas
Sejati Kartini
Kalian bisa baca artikel-artikel menariknya disana, nah Langsung saja baca artikel super panjang ini! siapin kopi, susu, teh, atau cemilan! sesekali bergerak yee, biar gak kaku! ho ho
PS : Tulisan di bawah di buat oleh Sdr Dipa yang diadaptasi dari empat tulisan serial tulisan adaptatif Zen Rs (Zen Rahmat Sugito) dan memakai rujukan dari artikel Petra Mahy yang berjudul “Being Kartini”
PS : Tulisan di bawah di buat oleh Sdr Dipa yang diadaptasi dari empat tulisan serial tulisan adaptatif Zen Rs (Zen Rahmat Sugito) dan memakai rujukan dari artikel Petra Mahy yang berjudul “Being Kartini”
Raden Ajeng Kartini, yang secara resmi tercatat sebagai
pahlawan nasional nomor 23, bukanlah pahlawan nasional perempuan yang pertama.
Posisi Kartini dalam daftar urut pahlawan nasional berada di bawah Cut Nyak
Dien dan Cut Meuthia, dua pejuang Aceh yang angkat senjata melawan pendudukan
Belanda.
(Pahlawan nasional nomor 1 ditempati Abdoel Moeis, seorang
lelaki-pengarang [alias bukan pejuang di medan perang] dari Sumatera.)
Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meuthia, dan Kartini, bersama-sama
ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden [Keppres] No.
106/1964 yang ditandatangani Presiden Sukarno.
Sebelumnya, sudah ada 20 pahlawan nasional yang semuanya
laki-laki. Komposisinya: 11 orang Jawa, 2 orang Sunda, 1 Betawi, 2 Batak, 1
Minahasa, 3 Melayu, 1 orang Indo (Douwes Dekker). Mayoritas di antaranya
muslim, sisanya penganut Katolik dan Kristen, dan 1 ateis (Tan Malaka).
Saya sengaja membuka tulisan ini dengan paragraf yang berisi
tetek-bengek nomor urut dan atribusi itu (perempuan, pengarang, pejuang yang
angkat senjata, Sumatera, non-Jawa). Alasannya sederhana: wacana kepahlawan
nasional di Indonesia memang sering kali diimbuhi oleh tetek-bengek atribusi
macam itu.
Dan Kartini tepat sebagai contoh pokok persoalan satu ini.
Kartini Bukan Pahlawan
Seperti yang sudah saya sebutkan, ketika belum ada Kartini,
Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia, daftar pahlawan nasional Indonesia hanya diisi
nama laki-laki. Dan itulah sebabnya saat itu Sukarno dikritik sekaligus didesak
untuk sesegera mungkin mengangkat perempuan sebagai pahlawan nasional.
Salah satu pihak yang mendesak penetapan Kartini sebagai
pahlawan nasional adalah Gerwani, organ perempuan di lingkungan PKI. Tiga tahun
sebelum Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Gerwani bahkan sudah
menerbitkan sebuah majalah perempuan yang dinamai “Api Kartini”.
Pertanyaannya: kenapa harus ada perempuan dalam daftar
pahlawan nasional? Sebagaimana kenapa harus ada Batak dalam daftar tersebut?
Memangnya kenapa kalau tidak ada perempuan atau Batak dalam daftar?
(Ya, Batak juga perlu disebut. Orang Batak pertama yang
ditetapkan sebagai pahlawan nasional adalah Sisingamangaraja XII dengan nomor
urut 8. Dia ditetapkan setelah Sukarno mendengar aspirasi yang mempertanyakan
kenapa tidak ada orang Batak yang jadi pahlawan nasional.)
Itu semua terjadi pada masa Soekarno. Kini, proses serupa
nyaris menjadi baku karena memang prosedur penetapan pahlawan nasional memang
seperti itu. Seseorang bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional setelah
melewati berbagai tahap, salah satunya usulan dari masyarakat. Hampir semua
usulan itu akhirnya datang dari mereka yang merasa diwakili oleh sang-calon
pahlawan (baik diwakili secara kesukuan, kedaerahan maupun tentu saja
kekeluargaan).
Di sinilah letak ironinya: penetapan seorang pahlawan
nasional, yang mestinya berporoskan nilai nasionalisme, justru prosesnya sering
dimulai oleh perayaan regionalisme, provinsialisme, etnisitas, atau bahkan —
dalam kasus Kartini, Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia — soal jenis kelamin.
Kartini lagi-lagi menjadi persimpangan yang menarik. Dia
ditetapkan sebagai pahlawan nasional setelah ada gugatan segmentatif (“Kenapa
tidak ada pahlawan nasional perempuan?”). Tetapi setelah menjadi pahlawan
nasional, dia dipersoalkan dengan argumentasi yang tidak kalah segmentatif
alias membawa-bawa regionalisme. Kartini orang Jawa, dan kepahlawanannya
dipandang sebagai sebentuk jawanisasi.
Persoalan makin “rumit” karena tidak ada pahlawan nasional
lain yang hari kelahirannya ditetapkan oleh negara sebagai hari khusus. Tidak
ada Hari Cut Nyak Dien atau Hari Christina Tiahahu. Bahkan tidak ada Hari
Sukarno, Hari Hatta apalagi Hari Tan Malaka yang ateis dan komunis.
Apa boleh bikin, Kartini memang sudah telanjur menjadi
“kanvas” yang di berbagai zaman dan oleh berbagai kalangan pernah dan akan
terus dicoreti pelbagai tafsir, kepentingan, sampai gugatan. Pendeknya, Kartini
adalah objek.
Dan sebagai objek, Kartini diposisikan dan dipahami secara
berbeda, mulai kalangan etisi (penganut politik etis) di masa kolonial,
orang-orang kiri di masa Demokrasi Terpimpin, para teknokrat-birokrat Orde
Baru, sampai para pengkritik yang mengalasdasari kritik mereka dengan visi
desentralisasi seperti yang terlihat pada masa pasca-reformasi sekarang ini.
Dan Kartini tak bisa melawan coretan-coretan yang dibubuhkan
pada riwayat hidupnya itu. Itulah sebabnya, dalam statusnya sebagai pahlawan,
Kartini sebenarnya mengalami “penderitaan”. Kartini, sebagaimana para pahlawan
nasional lainnya, mengalami “penderitaan” dibingkai, dibakukan sekaligus dibukukan.
Pendeknya, Kartini “dikanonisasi”.
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial
Departemen Sosial (Depsos) No.281/PS/X/2006, ada beberapa kriteria seseorang
untuk bisa ditahbiskan sebagai pahlawan nasional. Di antaranya: perjuangannya
konsisten, mempunyai semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi,
berskala nasional serta sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan
tercela dan sang tokoh sudah meninggal.
Sepanjang proses itulah para kandidat pahlawan nasional
diperiksa, diteliti, diselidiki: pendeknya dipilih, dipilah, diselidiki “secara
klinis” untuk memastikan tidak ada virus, bakteri, cela dan dosa yang terlalu
signifikan untuk diabaikan.
Tapi itu saja tak cukup. Begitu seseorang ditetapkan sebagai
pahlawan, ada penambahan elemen-elemen yang dianggap bisa memperkokoh kekuatan
naratifnya. Penambahan elemen itu bisa berupa pemilahan dan penyempurnaan foto
atau lukisan si tokoh, mereproduksi serta menyebarkannya melalui banyak medium
(terutama buku pelajaran atau biografi ringkas yang disebarkan ke sekolah),
hingga ritual-ritual yang diulang pada momen penting dalam kehidupan si tokoh
yang relevan untuk ditonjol-unggulkan.
Jika kita cermati gambar wajah para pahlawan nasional,
terutama para pahlawan dari era sebelum dikenalnya fotografi, paras mereka
rata-rata tampak meyakinkan, seakan tak mengandung keraguan. Wajah mereka
memancarkan pamor keagungan. Gambaran auratik adalah bagian dari kanonisasi
kepahlawanan nasional yang direproduksi terus-menerus itu.
Silakan ketik “RA Kartini” di mesin pencari. Anda akan
disuguhkan ribuan foto Kartini yang berdaya auratik itu. Itulah Kartini yang
yang telah dikanonisasi, Kartini semata-mata sebagai objek. Padahal, jika
membaca surat-surat Kartini dengan lebih peka, dengan mudah Anda akan menemukan
banyak keraguan, kebimbangan, kekalahan dan penderitaan. Dan Kartini memang
wafat dalam situasi tragis seperti itu.
Pertanyaannya: masih bisakah memandang Kartini sebagai
subjek?
Saya kira itu masih dimungkinkan jika bisa melepaskan
selubung kepahlawanan yang melekat pada dirinya. Selama dibicarakan dalam
selubung kepahlawanannya, selama itu pula Kartini akan terus menjadi objek,
bahkan kendati posisi Anda sedang mengkritiknya sekalipun. Karena, baik membela
maupun menggugat kepahlawanan Kartini sebenarnya berangkat dari posisi yang serupa:
memperlakukan Kartini sebagai objek.
Maka tak ada salahnya saya bilang: Kartini bukanlah
pahlawan, dia manusia biasa saja. Mudah-mudahan ini adalah sikap paling adil
yang bisa saya berikan padanya.
Kartini ‘Bikinan’ Belanda
Sebagai narasi, Kartini memang dibikin oleh orang-orang
Belanda. Dan inilah salah satu soal (atau “sial”?) utama yang merongrong narasi
Kartini. Apa bisa kita kenal Kartini jika Belanda tak membuatkan narasi
tentangnya?
Kartini sudah dikenal oleh banyak orang Belanda sebelum ajal
menjemputnya pada 17 September 1904. Pembicaraan tentangnya sudah muncul sejak
dia mulai menulis di beberapa surat kabar — tentu saja dalam bahasa Belanda.
Ketika dia meninggal, beberapa surat kabar memberitakannya.
Bagaimanapun, Kartini sudah menjadi figur. Setidaknya dia adalah istri seorang
bupati — istri utama Raden Djojoadiningrat, tapi bukan istri yang pertama. Tapi
waktu itu belum ada gelagat Kartini akan menjadi sebuah narasi yang menonjol.
Beberapa surat kabar hanya menulis ala kadarnya tentang kematian Kartini.
Saya ambil contoh berita di surat kabar Bataviaasch
Nieuwsblad dan Het Niuews van den Dag voor Nederlandsch-Indie. Pada hari yang
sama, 31 Desember 1904, dua surat kabar itu menurunkan daftar orang-orang yang
meninggal di tahun 1904. Di situ Kartini disebut dengan nama “Raden Ajoe Djojo
Adiningrat Kartini, echgenoote van den Regent van Rembang.”
Narasi Kartini mulai dianyam canggih menyusul penerbitan
surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh J.H. Abendanon[ pada 1911.
Surat-surat itu diterbitkan di Belanda di bawah judul Door Duisternis Tot
Licht.
Buku itu dengan cepat direspons publik, mula-mula di Belanda
lalu merembet ke Hindia-Belanda. Ulasan buku itu banyak ditulis di surat kabar
di Belanda, iklan-iklan tentang buku itu tersebar di banyak surat kabar. Saya
menemukan sepucuk iklan yang menjual buku Kartini di surat kabar De Tijd (The
Times) pada Juni 1911.
Respons positif atas penerbitan buku itu bisa dirangkum
dalam kalimat: “Lihatlah, kami orang Belanda juga bisa melahirkan pribadi
pintar dan tercerahkan”. Belanda memang berkepentingan memunculkan pribadi maju
dari negeri jajahan demi kepentingan kampanye politik etis mereka, untuk
membuktikan bahwa pemerintah kolonial mereka tidak kalah dengan Inggris di
India dalam hal memajukan rakyat terjajah.
Itulah sebabnya, dua tahun sejak penerbitan surat-surat
Kartini, orang-orang Belanda yang sedang giat-giatnya mempromosikan gerakan
memajukan rakyat terjajah melalui pendidikan segera membuat Yayasan Kartini,
yang salah satu proyeknya adalah mendirikan sekolah Kartini di Semarang. Dan
peristiwa itu diliput secara besar-besaran oleh surat kabar bergengsi di
Belanda.
Saya menemukan arsip surat kabar Der Leeuwarder Courant
(surat kabar yang terbit sejak 1752) yang melaporkan tentang Sekolah Kartini
pada edisi Minggu, 21 Juli 1913. Tak tanggung-tanggung, laporan berjudul
“Kartini Scholen” itu nyaris memakan satu halaman penuh — dan itu diterbitkan
di halaman muka. Di sana dituliskan betapa Yayasan Kartini akan menjadi
organisasi menyebar di seluruh negeri untuk memajukan pendidikan di negeri
terjajah.
Sejak itulah Kartini sebagai narasi mulai mencuat. Buku
surat-surat Kartini diterbitkan terus-menerus dan juga terus diperbincangkan.
Yayasan Kartini di Belanda bekerja dengan bagus untuk mempopulerkan narasi
tentang Kartini ini.
Dan “wabah narasi Kartini” pun dengan cepat menyebar ke
Hindia Belanda, tanah kelahiran Kartini. Saya menemukan secarik iklan di surat
kabar De Sumatra Post edisi 28 Januari 1914 yang berisi promosi berbagai jenis
kalender. Salah satu kalender yang dijual adalah “Raden Kartini Kalender” yang
dijual seharga 1,75 gulden.
Jadi, jauh sebelum artis-artis cantik nan molek (kadang
dalam pose seksi di atas motor/mobil) dijadikan model kalender seperti yang
sering kita lihat sekarang, Kartini sudah lebih dulu muncul dalam kalender.
Iklan ini jelas menunjukkan narasi Kartini sudah hadir bukan
hanya secara tekstual, tapi juga visual. Soal kalender Kartini inilah yang
luput dari penelitian Petra Mahy[v] yang melacak narasi Kartini dalam media
cetak. Narasi Kartini secara visual sudah ada sejak 1914.
Dan itu terus berlanjut. Pada parade perayaan 50 tahun Ratu
Wilhelmina, organisasi pemuda Jong Java menampilkan episode Kartini di sebuah
truk/gerobak besar dengan Sujatin Kartowijono (aktivis perempuan yang kelak
ikut menginisiasi Kongres Perempuan pertama) memerankan sosok Kartini. Sujatin
saat itu mengenakan kebaya dan sanggul, seperti potret Kartini yang kita kenal
sekarang, dan itulah barangkali awal mula citra Kartini sebagai perempuan Jawa
dimulai secara visual.
Sejak itu, dalam semua perayaan mengenang Kartini di
tahun-tahun berikutnya, potret besar Kartini yang berkebaya dan bersanggul tak
pernah absen dipajang.
Narasi Kartini semakin kokoh dalam tatanan sosial pada 1929.
Tahun itu tepat 50 tahun kelahiran Kartini. Dan untuk merayakannya banyak
sekali acara mengenang Kartini. Di Sekolah Perempuan van Deventer di Solo,
acara itu dihadiri oleh banyak pejabat penting. Di Purworejo, seperti
dilaporkan surat kabar Bataviasch Nieuwhblad edisi 16 April 1929, organisasi
Wanito Oetomo menggelar acara mengenang 50 tahun Kartini. Salah satu acaranya
adalah dengan mengheningkan cipta selama semenit.
Perayaan 60 tahun Kartini pada 1939 juga dirayakan, kali ini
bahkan di luar Jawa. Organisasi Kaoetamaan Istri di Medan menggelar acara yang
sama. Seperti ditunjukkan Petra Mahy, organisasi Kaoetamaan Istri bahkan
menerbitkan majalah edisi khusus yang membahas Kartini dan mengklaim bahwa
perayaan Hari Kartini sudah dirayakan di mana-mana.
Surat kabar De Indische Courant edisi 25 April 1939
menurunkan laporan berjudul “Kartini Herdenking” (Perayaan Kartini). Perayaan
60 tahun Kartini disebut-sebut disokong oleh pemerintah kolonial dengan gegap
gempita.
Kilas balik kemunculan dan penahbisan Kartini sebagai narasi
yang saya lakukan ini bisa menjelaskan bagaimana Kartini adalah “anak
kesayangan semua orang” bahkan sejak era kolonial Belanda.
Parafrase “anak kesayangan semua orang” ini perlu
digarisbawahi untuk menegaskan kekhususan posisi Kartini dalam historiografi
Indonesia.
Kenapa? Karena setelah Indonesia merdeka, narasi ketokohan
Kartini yang dibikin Belanda ini tidak dihapuskan oleh para intelektual
Indonesia. Tidak banyak sosok yang dipuji dan disokong sedemikian rupa oleh
pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia merdeka sekaligus.
Padahal, salah satu fase penting dalam perkembangan ilmu
sejarah di Indonesia adalah proyek nasionalisasi historiografi. Dalam proyek
ini, dekonstruksi terhadap sejarah Hindia Belanda dilakukan. Apa yang dulu
dalam sejarah kolonial dianggap sebagai pengacau dan perusuh (misalnya
Diponegoro), dalam proyek nasionalisasi historiografi ini diputarbalikkan
sedemikian rupa menjadi para pahlawan penuh jasa dan sarat pahala.
Tetapi Kartini berbeda. Kartini tetap diperlakukan secara
hormat walau pun semua tahu narasi Kartini ini juga dimanfaatkan oleh
pemerintah kolonial dalam kampanye keberhasilan politik etis mereka.
Yang dilakukan oleh para intelektual Indonesia pasca-kolonial
bukan menghapuskan narasi Kartini, tapi mengambilalihnya, lantas memodifikasi
sedemikian rupa dan ujung-ujungnya sama: Kartini semakin kokoh sebagai narasi.
Inilah Kartini yang dibentuk, disunting dan direka-ulang
oleh mereka yang merasa berkepentingan terhadapnya. Dan Kartini tak bisa
melawan atau menanggapi pembentukan narasi tentangnya. Dia sudah terbujur kaku
di kuburnya. Yang tersisa tinggal cerita — dan dalam hal Kartini, ini jenis
cerita yang belum usai.
Bagaimana cara modifikasi terhadap Kartini sebagai narasi
ini dilakukan di masa pasca-kolonial? Akan saya uraikan dalam pemaparan saya
berikutnya.[vi]
Kartini ‘Menjadi’ Gerwani
Proklamasi kemerdekaan segera diikuti merebaknya semangat
anti-kolonialisme. Segala yang berbau kolonial dipersoalkan dan ditentang.
Tapi tidak dengan Kartini. Anak emas kaum etis kolonial ini
tidak dihapus namanya, tapi diambil-alih sekaligus dikukuhkan peranannya dengan
lebih jelas dalam sejarah Indonesia.
Tidak butuh waktu lama proses pengambil-alihan Kartini dari
wacana kolonial ke wacana nasional. Pada Kongres Perempuan Nasional yang
digelar 4 bulan setelah proklamasi, Kartini sudah “gentayangan” dalam
pidato-pidato para peserta. April 1946, belum setahun umur Indonesia merdeka,
perayaan Hari Kartini sudah digelar.
Sejak itu, narasi Kartini di masa pasca-kolonial tak bisa
lagi dihentikan. Ketika itu narasi tentang Kartini hampir sama dengan yang
direproduksi di masa kolonial. Kartini disebut sebagai pejuang hak pendidikan
perempuan dan (tentu saja) emansipasi perempuan. Nyaris tidak ada yang baru.
Modifikasi terhadap narasi Kartini justru dilakukan oleh
gerakan kiri di Indonesia. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Gerwis
(Gerakan Wanita Sedar) bertanggungjawab atas pembubuhan elemen anti-feodalisme
dan anti-kolonialisme ini. Dua organisasi yang berafiliasi dengan PKI (Partai
Komunis Indonesia) gigih berkampanye mengenai Kartini sebagai perempuan yang
bukan hanya memperjuangkan hak perempuan di bidang pendidikan, tapi juga
pejuang anti-feodalisme dan anti-kolonialisme.
Gerwani perlu dicatat lebih khusus dalam pokok soal ini.
Mereka bukan hanya menerbitkan sebuah majalah khusus perempuan kelas menengah
yang dinamai Api Kartini, tapi bahkan mendaku dirinya sebagai penerus cita-cita
Kartini.
Pada 1965, tahun-tahun yang disebut “ibu pertiwi sedang
hamil tua” itu, DPP Gerwani melansir pernyataan di Harian Rakjat: “Gerwani
sebagai penerus tjita-tjita dan jedjak perdjuangan Kartini dan Clara
Zetkin jang dalam meningkatan diri menjesuaikan dengan proses kristalisasi
politik dewasa ini, merupakan gerakan emansipasi jang menghimpun wanita Komunis
dan progresif non Komunis….”
Di situ Kartini disejajarkan dengan Clara Zetkin, perempuan
komunis dari Jerman yang menginisiasi Hari Perempuan Internasional. Lewat
Zetkin inilah bisa dikatakan bahwa Hari Perempuan Internasional pada mulanya
berakar pada gerakan sosialis, bukan gerakan feminis.
Saya pernah melihat sebuah foto di surat kabar De Waarheid
(yang terbit di Amsterdam) edisi 12 Mei 1954 yang menggambarkan suasana kongres
Women’s International Democratic Federation (organisasi yang dibentuk di Paris
pada 1945). Dalam foto itu terlihat Rie Lips-Odinot (seorang anggota parlemen
Belanda dari Partai Komunis) berpidato tentang kunjungannya ke Indonesia. Di
latar belakang Rie Lips yang sedang berdiri di podium, terlihat potret Kartini
terpasang di sebelah kiri dan Clara Zetkin di kanan.
Pensejajaran Kartini dengan Zetkin inilah yang membuat nama
Kartini mencuat ke dunia internasional –khususnya gerakan kiri– dan tak lagi
menjadi monopoli orang-orang moderat Belanda yang diwakili kaum etisi yang
mengkampanyekan politik asosiasi (kerjasama antara bumiputera dan Belanda).
Tak heran jika ulasan tentang Kartini banyak dimuat di
terbitan-terbitan organisasi berhaluan kiri. Surat kabar Het Vrije Volk, yang
mengklaim sebagai suara kaum sosialis demokrat, pernah menurunkan potret
Kartini yang di bawahnya tertulis kalimat: “revolutionnaire denkbelden”
(ide-ide revolusioner).
Jika orang-orang kiri di Indonesia mencoba mengambil-alih
narasi Kartini dari genggaman politik kolonial, maka orang-orang kiri di
Belanda juga melakukannya. Proses itu berjalan paralel.
1964 menjadi puncak perayaan Kartini “resmi” menjadi orang
kiri. Di tahun itulah, melalui Kepres RI No 108 Tahun 1964 yang dirilis pada 2
Mei 1964, Kartini sah menjadi pahlawan nasional.
Tampaknya Keppres itu sudah bocor sebelum secara resmi
dirilis. Dua pekan sebelumnya, para perayaan Hari Kartini, Gerwani dan Gerwis
merayakannya secara besar-besaran, termasuk di kedutaan-kedutaan Indonesia di
negara-negara Eropa Timur. Edisi 25 April 1964 koran Harian Rakyat, yang
redaksinya dipimpin oleh Njoto, memberitakan perayaan Hari Kartini di Moskow,
Bukares, Praha dan Kuba.
Cara mudah Untuk memahami argumentasi Kartini sebagai simbol
perempuan kiri adalah dengan menyimak buku “Panggil Aku Kartini Saja” yang
ditulis dengan penuh semangat oleh Pramoedya Ananta Toer, orang yang menjadi
master-mind Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Lewat buku yang diterbitkan pada 1962 itu, dia mencoba
meyakinkan pembacanya bahwa narasi Kartini yang disusun oleh Belanda itu
terlalu menyederhanakan Kartini. Mula-mula Pram menggeledah operasi politik
etis kolonial terhadap Kartini, sebagaimana dia membongkar kesengajaan
pemerintah praktik membenamkan nama Tirto Adhi Soerjo[viii] lewat buku “Sang
Pemula” dan tetralogi Pulau Buru.
Bagi Pram, Kartini dan Tirto sama-sama korban politik
kolonial. Jika Kartini disederhanakan oleh keluarga Abendanon, maka Tirto
dibenamkan oleh Dr. Rinkes. Oleh Abendanon, urai Pram, Kartini hanya
ditampilkan sebagai pribadi yang peduli dengan pendidikan, dan itu pun
pendidikan dalam konteks politik etis kolonial yang mengedepankan gagasan
politik asosiasi (kerjasama erat nan mesra antara rakyat terjajah dan penjajahnya).
Pramudya Ananta Toer, penulis fiksi terbaik Indonesia dan
seorang peneliti sejarah Kartini yang pendapatnya tentang ‘narasi Kartini
buatan Abendanon’ (1962) kemudian nampaknya selaras dengan kesimpulan
‘historical Kartini’ penelitian terpisah oleh Jean Stewart Taylor (1976)
(Credit: cityfukuok.lg.jp/fu-a)
Dengan menelusuri surat-surat dan dokumentasi yang bisa
didapatkan tentang Kartini, Pram mencoba menunjukkan bagaimana Putri Jepara ini
sudah memiliki benih-benih nasionalisme. Ditunjukkannya kutipan-kutipan yang
menguraikan pendapat Kartini tentang kesetiakawanan yang melintasi ras, etnis
dan agama. Tentu saja Pram tak lupa mengisahkan bagaimana Kartini melepaskan
jatah beasiswa miliknya dan mengusulkan kepada Abendanon agar memberikannya
pada seorang pemuda Minang yang cerdasnya tak ketulungan: Agus Salim.
Dengan agak tertatih-tatih, Pram menempatkan semuanya itu
guna membangun argumentasi Kartini sebagai prototipe manusia Indonesia yang
sudah memeram spirit anti-kolonialisme dalam pikirannya.
Selanjutnya, kali ini dengan argumentasi yang lebih
meyakinkan, Pram menjlentrehkan pikiran-pikiran Kartini yang mengutarakan
semangat anti-feodalisme. Pram mengutip ucapan Kartini: “Tiada yang lebih gila
dan bodoh daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya itu.”
Dan itu tak cuma diucapkan. Ia mempraktekkannya langsung. Ia
menolak dipanggil Raden Ajeng. Ia juga melarang adik-adiknya untuk menyembah
dan membungkuk jika hendak berlalu di depannya, suatu aturan yang sebenarnya
menjadi norma yang pantang dilanggar di rumah Kartini. Tapi toh ia lakukan
juga. Kartini juga tegas mengatakan bahwa adat yang dihayatinya hanya kewajiban
menghormat pada orang tua. Selain dari itu ia kritik habis.
Anti-kolonialisme dan anti-feodalisme adalah dua pokok wacana
yang saat itu sedang ditonjolkan dalam diskursus politik di Indonesia, terutama
oleh orang-orang kiri dan khususnya PKI. “7 setan desa dan 3 setan kota” adalah
mereka-mereka yang dianggap merepresentasikan watak kolonial dan feodal.
Dengan jitu, Pramoedya menggunakan judul “Panggil Aku
Kartini Saja”. Judul itu sebenarnya diambil dari ucapan Kartini sendiri
(lengkapnya: Panggil aku Kartini Saja — itulah namaku). Melalui judul itu, Pram
merangkum pandangan orang-orang kiri terhadap Kartini hanya dalam 4 kata saja.
Melalui parafrase itu, Kartini (di)hadir(kan) sebagai
pribadi yang merdeka, mandiri, muncul sebagai subjek yang lolos dari pelbagai
atribusi. Ya, panggil dia Kartini saja, tanpa embel-embel Raden Ajeng (saat
masih gadis) atau Raden Ayu (saat sudah beristri) atau Nyonya/Mevrouw
Djojoadiningrat (Bupati Rembang yang jadi suaminya), dan mungkin juga tanpa
embel-embel pahlawan nasional.
Maka pada masa puncak kejayaan Demokrasi Terpimpin, Kartini
pun berhasil “ke luar” dari dalam rumah, masuk ke area publik, dan menjadi
orang yang dinarasikan sebagai manusia yang sangat sadar politik. Ini paralel
dengan kondisi gerakan dan organisasi perempuan saat itu yang memang sangat
melek politik.
Setelah pembantaian para jenderal di Lubang Buaya, gerakan
perempuan mengalami titik balik. Seiring dengan dihancurkannya PKI dan Gerwani,
baik secara politik maupun fisik, gerakan perempuan pun digelandang paksa untuk
kembali mendekam di dalam rumah. Tidak ada lagi politik, yang ada hanya urusan
domestik.
Apakah Kartini lantas dilenyapkan? Sama sekali tidak. Orde
Baru ikut-ikutan mengambil-alih Kartini dan ikut memodifikasi narasi Kartini.
Dalam narasi ini, Kartini “disempitkan” hanya menjadi ibu — dan lebih spesifik
lagi: ibu yang bersanggul dan berkebaya.
Sejak itulah, menyitir istilahnya Saskia Weiringa,[ix]
seorang spesialis dalam sejarah perempuan Indonesia, Kartini tampil sebagai
“kuntilanak wangi”.
Kartini pun kembali ke dapur, sumur dan kasur.
Kartini sebagai ‘Kuntilanak Wangi’
Tidak ada kalimat “ibu kita Kartini” dalam lirik lagu yang
ditulis oleh WR. Soepratman.
Setelah meliput Kongres Perempuan I yang digelar di
Yogyakarta pada 1928, WR. Soepratman terinspirasi untuk menulis lagu tentang
Kartini. Soepratman menulis lirik yang bunyinya (dan judulnya) “Raden Ajeng
Kartini….”, bukan “Ibu kita Kartini…”.[x]
Di masa Sukarno, judul dan lirik itu diubah menjadi “Ibu
kita Kartini”. Pengubahan judul dan lirik lagu itu tak lain dan tak bukan untuk
menghilangkan elemen feodalisme dari narasi Kartini — dan dengan itulah
sebenarnya dilakukan sebentuk kekerasan terhadap kisah hidup Kartini.
Feodalisme dan kolonialisme adalah dua simpul yang jadi
lawan utama gerakan-gerakan kiri pasca Indonesia merdeka sampai kejatuhan
Soekarno. Menghapuskan embel-embel Raden Ajeng pada Kartini adalah bagian dari
pertarungan politik dan ideologi di masa itu.
Yang tidak pernah diduga oleh Sukarno dan gerakan-gerakan
kiri di masa itu adalah Orde Baru dengan tidak kalah canggihnya mengambil-oper
dan memodifikasi narasi “ibu kita Kartini” ini untuk mengkreasi tafsir mereka
terhadap Kartini dan perempuan Indonesia.
Perlu dicatat lebih dulu bahwa Sukarno dan gerakan kiri di
masa itu juga berkepentingan dengan wacana “ibu”. Di tengah kampanye
anti-nekolim yang jadi kosa kata utama Sukarno masa itu, “ibu” diletakkan
sebagai bagian dari gerakan revolusioner yang bukan hanya sangat sadar politik,
tapi juga progresif.
Lagi-lagi Pramoedya ambil bagian dalam pertarungan
politik-ideologi ini. Pada 1956, dia menerjemahkan dan menerbitkan novel Maxim
Gorky yang berjudul “Ibunda”. Novel ini menceritakan seorang janda yang anaknya
menjadi aktivis bawah tanah. Alih-alih melarang, sang ibu malah menyokong
kegiatan anaknya dan bahkan ikut terlibat dalam aktivitas revolusioner.
Novel ini bisa menggambarkan bagaimana bandul politik saat
itu memandang peran ibu: sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan
menuntaskan revolusi yang belum selesai. Ibu yang mau ke luar dari kasur, dapur
dan sumur untuk ikut memanggul tugas revolusi.
Orde Baru tidak menghapus konsep “ibu” dari narasi Kartini,
tapi memodifikasinya sedemikian rupa dengan cara mengirim “ibu” dan Kartini
kembali ke dalam rumah, fokus mengurus kasur, dapur, sumur, dan mendampingi
anak dan suami. Jika pun harus ke luar rumah untuk beraktivitas/berorganisasi,
itu harus bersama organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) atau Dharma
Wanita.
Tidak ada alternatif lain. Gerwani sudah dihancurkan secara
fisik maupun organisasi. Secara fisik anggotanya ditangkap, dipenjara dan
banyak mengalami pelecehan seksual di dalam tahanan. Secara organisasi dilarang
dan dicitrakan sebagai lonte-lonte tak tahu adat.
Sementara Perwari, organisasi yang dipimpin seorang
progresif bernama Soejatin Kartowijono, yang sebelumnya sangat keras menentang
poligami dan gigih berbicara tentang pemiskinan perempuan, pelan tapi pasti
dimandulkan. Dan pada 1975, secara resmi Perwari “dikandangkan” dengan
dijadikan organisasi di bawah Golkar.
Narasi Kartini pun mengalami penyuntingan untuk yang
kesekian kalinya. Semua teks resmi negara, termasuk yang menjadi bahan ajar di
sekolah, membabat habis kisah-kisah tragis Kartini. Tidak ada cerita tentang
Kartini sebagai korban poligami. Di buku ajar saat itu, mustahil mendapatkan
kisah bagaimana Kartini takluk secara tragis terhadap poligami ini.
Ini bisa dimaklumi karena Orde Baru, tentu saja berkat
campur tangan Sang Nyonya Besar Siti Hartinah, sangat membenci poligami.
Pemerintah mempersulit bagi pegawai pemerintah yang ingin berpoligami. Banyak
syarat yang harus dipenuhi: mulai izin dari istri pertama, surat keterangan
penghasilan dan izin dari pejabat serta atasan.
Maka membabat habis cerita Kartini sebagai korban poligami
menjadi keharusan. Apa kata dunia jika pahlawan yang jadi simbol ibu yang
sempurna itu justru menjadi korban poligami yang saat itu sangat dibenci Sang
nyonya Besar?
Maka jika Gerwani dan organisasi Women’s International
Democratic Federation pernah menyandingkan potret Kartini dengan Clara Zetkin
(perempuan komunis Jerman), di masa ini potret Kartini disandingkan dengan Sang
Nyonya Besar.
Suharto menyempurnakan pensejajaran antara Kartini dengan
istrinya itu pada 30 Juli 1996 dengan mengeluarkan Kepres yang menetapkan Siti
Hartinah sebagai pahlawan nasional. Bayangkan: wafat pada 28 April 1996, 32
hari kemudian almarhum langsung jadi Pahlawan Nasional.
Inilah Kartini yang disunting dan dimodifikasi oleh Orde
Baru. Kartini yang sepenuhnya diletakkan sebagai ibu”, bukan perempuan. Dan
dengan itulah posisi perempuan dikonstruksi semata sebagai pendamping
lelaki/suami, sebagai pengasuh anak dan pengayom keluarga.
Tidak ada “perempuan”, yang ada hanyalah “ibu” dan “istri”.
Maka perempuan yang baik haruslah “ibu yang baik” dan “istri yang setia”.
Perempuan yang berkeliaran di jalanan untuk menuntut hak adalah perempuan binal
yang melanggar kodrat dan fitrahnya — atau bahkan disudutkan sebagai penerus
lonte-lonte Gerwani.
Inilah yang terjadi dengan Karlina Leksono, dkk., dari
kelompok Suara Ibu Peduli yang berunjukrasa di Bunderan HI pada awal 1998.
Mereka memprotes kenaikan harga sembako dan harga susu. Mereka ditangkap karena
dianggap mengganggu ketertiban umum.
Julia Suryakusuma menyebut konsep perempuan ala Orde Baru
ini sebagai “ibuisme negara”. Dalam konsep ini, perempuan diletakkan melulu
dalam fungsi “reproduksi” dan “melayani”.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengkanonisasi
(standardisasi) perempuan itu berdasar 5 fungsi: meneruskan keturunan, sebagai
ibu yang mendidik anak-anaknya, sebagai pengurus keluarga, penambah penghasilan
suami, dan anggota masyarakat.
Fungsi kelima sebagai anggota masyarakat ini oleh Orde Baru
distandarkan dengan keterlibatan dalam organisasi-organisasi resmi, seperti PKK
dan Dharma Wanita. Dan dengan itulah, perempuan dan ibu dipaksa menjadi bagian
operasi kekuasaan guna memobilisasi suara Golkar dalam Pemilu.
Di level elite, biasanya istri dari pejabat-pejabat tinggi,
perempuan-perempuan ini menampilkan gaya hidup mewah, dengan pakaian dan
perhiasan yang wah dan badan yang semerbak mewangi parfum dari luar negeri.
Tiap kali suaminya yang pejabat tinggi bepergian, ke daerah atau ke luar
negeri, istri-istri ini ikut wara-wiri. Saskia Weiringa, peneliti spesialis
sejarah gerakan perempuan di Indonesia, mengungkapkan bagaimana orang-orang
yang tak suka dengan polah itu menyindirnya dengan ejekan “kuntilanak
wangi”.[xi]
Perlawanan terhadap narasi Kartini ala Orde Baru ini
bukannya tidak dilakukan. Menariknya, perlawanan ini seringkali mendompleng
perayaan Hari Kartini. Saya akan contohkan beberapa.
Pertama, tulisan Prof. Harsja W. Bachtiar pada 1979,
“Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”, bukan hanya menggugat
penokohan dan mitologisasi Kartini, tapi juga menyebutkan nama-nama lain yang
dianggapnya lebih layak: Ratu Tajul Alam Safiatun dari Aceh dan Siti Aisyah We
Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Uraian Prof. Harsja itu sampai sekarang masih dikutip oleh
siapa pun yang merasa tak setuju dengan penokohan, kepahlawan dan mitologisasi
Kartini. Dan, perlu digaris-bawahi: tulisan Prof. Harsja itu diterbitkan dalam
rangka mengenang 1 Abad Kartini.
Kedua, banyak demonstrasi dilakukan di akhir-akhir kekuasaan
Soeharto dilakukan juga di Hari Kartini. Pada 21 April 1995, para aktivis
perempuan berunjukrasa menuntut pembubaran Menteri Peranan Wanita yang dianggap
tak berhasil membela kepentingan perempuan.
Pada 21 April 1998, sebulan jelang lengsernya Soeharto,
demonstrasi meledak di mana-mana. Mahasiswa memanfaatkan momen Hari Kartini
untuk memperluas jangkauan aksinya ke kaum ibu dan perempuan.
Dengan itulah, publik mencoba mengambil-alih monopoli atas
narasi Kartini dari genggaman Orde Baru dan berhasil.
Itulah sebabnya saya bisa leluasa menulis artikel ini dan
itu pula alasannya kenapa Anda, pembaca sekalian, bisa dengan bebas berpendapat
tentang Kartini. ( Dipa Nugraha )
Tambahan
Jikasanya ada yang bertanya apakah Kartini layak dianggap
pahlawan atau tidak tepat dipahlawankan?
Menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Ada tarik
menarik kepentingan di dalam penyebutan seseorang menjadi pahlawan. Kartini
adalah salah satu contoh.
Keputusan Presiden Sukarno menjadikan Kartini sebagai
pahlawan besar kemungkinan didasari oleh pertimbangan pragmatis dan politis:
- Tahun 60-an Presiden Sukarno didesak untuk mengumumkan pahlawan perempuan karena belum ada juga pahlawan perempuan di daftar pahlawan nasional (lih. Petra Mahy, “Being Kartini” (2012))
- Ketika hendak mengumumkan pahlawan nasional perempuan, Sukarno tidak serta merta mengangkat Kartini. Ia juga mengangkat pahlawan lain yang memang benar-benar melawan Belanda. Saat itu Kartini diangkat sebagai pahlawan bersama Cut Nyak Din dan Cut Mutia. Sukarno tidak mungkin tidak tahu bagaimana Kartini memang begitu heroik karena endorsement ethici movement Belanda.
- Di dunia Internasional, Kartini terlanjur dikenal sebagai perempuan pejuang kebebasan. Tentu saja jika dianalisis di dalam konteks poskolonial dan kajian orientalisme, Kartini adalah simbol superioritas Barat terhadap Timur yang masih “kolot dan terkekang”. (bdk. Jean Stewart Taylor, “Raden Ajeng Kartini” (1976) dan Michael Hawkins, “Exploring Colonial Boundaries” (2007)). Kartini di dunia Barat merupakan trofi justifikatif bahwa peradaban Barat adalah superior sedangkan Timur adalah terbelakang. Sukarno akan tampak konyol ketika tidak mengangkat Kartini padahal Kartini sudah terlanjur kuat di dunia Internasional sebagai salah satu feminis dari Indonesia. Pun meski demikian, otentisitas Kartini -lepas dari narasinya diciptakan oleh politikus ethici Belanda- adalah bagaimana ia menjadi transisi tradisi relasi gender ala Timur menuju ala Barat.
- Di dalam negeri, Sukarno juga akan tampak konyol ketika ia tidak mengangkat Kartini sebagai pahlawan nasional. Ingat bahwa politik Etis berhasil menghasilkan Kartini Schools di beberapa daerah dan perayaan akan Kartini (warisan Belanda) telah menjadi kebiasaan di beberapa daerah di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra (lih. Mahy, “Being Kartini” (2012)), hendak pragmatis maka Kartini juga dipilih sebagai pahlawan nasional. Mengenai kemudian menjadi “pahlawan” yang diperingati hari lahirnya, sekali lagi, semua kembali kepada tradisi yang diwariskan politik etis Belanda yang telah berlangsung bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kartini sudah terlanjur “bisa” diterima sebagai pahlawan oleh perempuan di beberapa daerah zonder figur historisnya adalah ciptaan Belanda (bdk. Jean Stewart Taylor, “Raden Ajeng Kartini” (1976), Pram, Panggil Aku Kartini Saja (1962)).
- Bagi Sukarno, menurut saya, Kartini adalah figur perempuan transisi dari masa kolonial menuju Indonesia yang mampu beradaptasi dengan modernitas yang ditawarkan Barat tanpa merasa kaku atau ricuh. Ada keuntungan pragmatis pembentukan imaji identitas perempuan nasional jika Kartini ditampilkan sebagai perempuan pahlawan karena Kartini saat itu “sudah jadi” sebagai tokoh perempuan (bdk. perubahan imaji tentara di UK, Helen B. McCartney, “Hero, victim or villain? The public image of the British soldier and its implications for defence policy” (2011))
- Pembenturan Kartini dengan tokoh pahlawan semisal Cut Nyak Dien adalah hal yang memang tidak terelakkan di tengah isu lama mengenai Islam, Negara, Tafsir Poskolonial, dan Jawanisasi sebagaimana endusannya bisa kita tengok selintas di dalam buku karya Jacqueline Aquino Siapno yang berjudul Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh: The Paradox of Power, Co-optation and Resistance (2002). Beberapa hal mengenai Kartini dengan milieunya, pergulatan pikiran antara Barat dan Timur, pernikahan dengan tidak menikah, serta keningratan dan Belanda di hadapannya dapat dibaca di dalam buku Toward a Humanist Justice: The Political Philosophy of Susan Moller Okin (2009). Membaca ulang sepak terjang Kartini dan pemahlawanannya dalam konteks yang saya sebutkan tadi bisa membuat argumen bahwa Kartini yang seolah-oleh dijadikan sebagai [satu-satunya] representasi nasional tokoh emansipasi wanita menjadi bisa didebatkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketokohan Kartini diciptakan oleh Abendanon yang memang hendak mengegolkan agenda Politik Etis dengan pendekatan elitis (lihat Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200 (2001)) dan bukan pendekatan politis etis yang vernakular-massa sebagaimana keinginan ethici lain seperti Gubernur Jenderal van Heutsz. Tidak hanya sekali di dalam kompilasi pilihan surat-surat Kartini menunjukkan dirinya yang merupakan elit Jawa merasa menjadi terberadabkan dengan pendidikan Belanda —sesuatu yang Snouck Hurgronje sebut sebagai politik asosiasi, salah satu pilar dari politik etis— namun hendak menggantikan Kartini di dalam pembicaraan mengenai figur pahlawan emansipasi wanita Indonesia menghadapi kendala (baca: usaha ekstra keras) dikarenakan pilin kelindan narasi mengenai emansipasi wanita Indonesia selalu dan selalu kembali kepada surat-surat Kartini. Tokoh-tokoh wanita lain yang frontal kepada Belanda, tidak asosiatif dengan berkiblat pada Eropa, katakanlah, “tidak mempunyai” teks untuk dibicarakan sebanyak teks yang diciptakan Kartini dan diciptakan tentang Kartini baik demi kepentingan Belanda (baca: pengukuhan hegemoni kultural Barat) maupun demi kepentingan kita yang sudah terlanjur meneruskan tradisi pengkiblatan pembicaraan emansipasi lewat Kartini. Jika begitu kerumitannya, bisakah revisi sejarah dilakukan? Bisa saja dengan memakai salah satu strategi gerakan perempuan di dalam mengangkangi dunia patriarki —sesuatu yang ironis namun komikal— yakni terus menerus menumpuki dan menenggelamkan teks mengenai Kartini dengan “teks-teks lain yang serius” mengenai tokoh perempuan lain semisal Rohana Kudus, Cut Nyak Din, Dewi Sartika, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, Siti Aisyah We Tenriolle, dan Rahmah el-Yunusiyah.
Javanese etiquette is both silly and terrible (to Stella, 18
Agustus 1899)
I had rather have my whole life one of the strife and sorrow
than be without the knowledge which I owe to my European education (to Stella,
6 November 1899)
My future sister-in-law is already ‘tainted’ by a Western
education; that will be pleasant for me.
(to Mevrouw Abendanon, 8 Agustus 1903)
- Kartini yang “beragama Islam” namun awam mengenai Islam karena ia sendiri mengaku bahwa tiadanya terjemahan Quran membuatnya kesulitan mempelajari Islam di dalam beberapa bagian suratnya sehingga nampak labil dalam keimanannya dan di dalam keluguannya itu terkadang mengkritik beberapa hal di dalam Islam (misal pandangannya mengenai poligami, tekdir [takdir], sembahyang istira [Istisqa’]) merupakan isu yang penting untuk disorot. Perlu dicatat bahwa di dalam kebijakan pemerintah di negeri Belanda di masa-masa Politik Etis hendak dirumusmatangkan untuk diterapkan di Indies, ada tiga kelompok kepentingan di negeri Belanda yang bermain, kaum liberal, kaum kiri, dan kaum ‘agamis’ (lihat Vickers, A History of Modern Indonesia (2005)), pemunculan Kartini sebagai priyayi wanita Jawa yang ingin dididik dan diarahkan Belanda, dekat dan asosiatif dengan Belanda (ia menyebut misalnya negeri Belanda sebagai “Motherland”), kritis terhadap budaya dan etiket Jawa, kritis terhadap Islam, memenuhi kepentingan dari tiga kelompok yang bermain di dalam Politik Etis walaupun di dalam surat-suratnya tahun di awal abad dua puluh menyiratkan bahwa Belanda dan kebudayaan Belanda tidak baik-baik amat untuk semuanya diikuti dan lain dari itu Kartini menunjukkan peningkatan spiritualitas, mencintai kehidupan perkawinan, dan sangat gembira dengan penantian akan kelahiran anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon untuk tidak menaruh link dalam bentuk apapun